Tuesday, December 23, 2014

Hakim Otomatis

Sebelumnya, saya ingin memberitahukan bahwa posting berikut tergolong kuno. Bukan basi, tapi sudah masuk tahap fermentasi. Ndak. Saya ndak bermaksud membedah bagaimana cara manusia menghakimi, dengan ataupun tanpa maksud untuk menyakiti pihak yang kita jatuhi penghakiman. Barangkali kita hanya kebobolan, atau hanya semacam mekanisme yang ditanamkan sejak kecil, yang mana, tanpa kita sadari, penghakiman sesaat hanya akan dianggap kentut belaka. Atau barangkali memang sengaja. Siapa yang ndak doyan jadi hakim? Atau ndak sadar? Atau keduanya? Untuk tema berikut, biarkanlah saya fokus ke hal yang paling kasat mata: fisik.

Jadi begini. Beberapa saat yang lalu, saya sempat menunjukkan foto bersama teman ke para tante saya. Dan, salah satu dari sekian para tante tersebut, langsung nyeletuk "Kok jelek amat ya? Kok ga ada yang ganteng ya?" Menurut peraturan tak tertulis, yang tua harus dihormati, meski kurang ajar. Buat saya, peraturan tak tertulis itu saya ubah sedikit: yang tua harus dihormati dalam batas tertentu. Bagi saya, nyeletuk sesekali masih belum melewati batas. Dan sebagai informasi sampingan, saya juga ada di dalam foto itu. Pret.

Berikutnya, panggung cerita saya geser sedikit. Kali ini paman saya yang, barangkali dengan maksud basa-basi, mengucap kalimat berikut: "Ven, badan kamu bagus ya sekarang." Otomatis, saya balas "Jadi, dulu saya jelek ya om?" Oops... awkward. Saya menebak barangkali paman saya mengira saya ndak akan menjawab secara sinis karena aturan tak tertulis tersebut.

Hal-hal semacam ini yang membuat saya mundur dua langkah sebelum memulai basa-basi, terutama dengan para tetua. Tapi, kalau dipikir ulang, proses mundur dua langkah itu pun bisa dikatakan sebagai awal mula profesi hakim fisik secara otomatis, meski dasar yang dipakai adalah proses mengamati. Lagipula, kalau menebak kualitas seseorang hanya berdasarkan penampilan luar, tampaknya ndak segampang dicocoti dengan ilmu deduksi ala Sherlock Holmes. Dan banyak yang doyan dengan ungkapan "don't judge a book by its cover", meski pada akhirnya ikut-ikutan melotot ketika yang seseorang yang dinilai aduhai lewat di depan mata. Standar ganda? Oh, ndak. Saya akui kalau fisik adalah hal yang paling "mudah dinilai", karena ndak butuh kemampuan macam Professor Charles Xavier. Sisanya? Terkadang, poin ini bukan hal yang mudah untuk digali ataupun dibuka secara paksa.

Jadi, kalau sampeyan menghakimi, siap-siap saja dihakimi. Ndak, jangan main bakar-bakaran. Diskusikan saja sama mereka:


Belum lagi kalau memasuki ranah "chemistry" kalau berbicara tentang mencari pasangan. Saya bisa digiling habis.

1 comment:

Nia Janiar said...

Sabar yaa.. #pukpuk :p